Rabu, 30 Maret 2011

Pancasila

”Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjuangan!” (Soekarno, 1 Juni 1945)

Pada 21 Juni 40 tahun lalu Bung Karno tiada. Namun, ia meninggalkan warisan besar berupa negeri merdeka ini dan ideologinya.

Dengan menggali Pancasila dari nilai-nilai luhur di bumi pertiwi, Soekarno memaksudkan pandangan hidup atau weltanschauung bagi Indonesia merdeka itu sebagai ideologi perjuangan.

Kehendak bersatu (le desir d’etre ensemble) sebagai syarat bangsa dari Ernest Renan tak akan cukup menjelaskan persoalan keadilan sosial dalam hubungan manusia dengan tempatnya bernaung (tanah air), sehingga masalah ini justru akan mengancam keberlanjutan kehendak bersatu itu.

Melalui ideologi perjuanganlah, bangsa ini mampu mengelola kebhinnekaannya, sebagai usaha bersama memperjuangkan kebebasan dari (freedom from) penindasan dan pemiskinan, sekaligus kebebasan untuk (freedom for) menggapai keadilan dan kemakmuran yang merata.

Tersandera

Sudah lama ideologi perjuangan itu tersandera karena para pemegang kekuasaan tidak mengelola optimal kebhinnekaan bangsa.

Keberagaman agama dan budaya diakui, namun masyarakat tidak dipupuk kemampuannya untuk hidup dalam perbedaan secara jernih, toleran, dan damai. Bhinneka Tunggal Ika lebih banyak dipahami secara simbolis melalui lambang-lambang kedaerahan, seperti baju tradisional, senjata adat, dan alat musik, yang ditonjolkan dalam berbagai acara kenegaraan dan wisata.

Di masa Orde Baru, persatuan dan kesatuan dijaga melalui kebijakan anti SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dalam tatanan politik yang sentralistik. Orde Baru menyebut Pancasila sebagai “ideologi bukan ini, bukan itu”, terus menjadikannya sebagai “ideologi yang bukan-bukan”. Penguasa sering mencap “anti Pancasila” terhadap pihak-pihak yang mengkritisi dan menentang kekuasaannya. Kategori ekstrim kiri dan ekstrim kanan diberlakukan.

Weltanschauung direduksi menjadi formalisme butir-butir pekerti (36 butir) ala Eka Prasetia Pancakarsa melalui Tap MPR No II/ MPR/ 1978 tentang P4.

Pasal 1 Tap MPR itu menyebutkan bahwa P4 bukan merupakan tafsir Pancasila sebagai dasar negara, dan juga tidak dimaksud menafsirkan Pancasila Dasar Negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh dan Penjelasannya. Artinya, Tap MPR tersebut menyangkal dirinya sendiri sebagai tafsir resmi Pancasila.

Tanpa hubungan yang jelas antara Tap MPR itu dengan Pancasila, Penataran P4 dijadikan sarana indoktrinasi yang diwajibkan bagi warga negara. P4 menjadi syarat bagi para birokrat yang ingin berkarir di birokrasi, para mahasiswa yang ingin meraih gelar sarjana, para pelajar, dan pihak-pihak lain yang tidak ingin akses politik dan ekonominya tersumbat.

Mungkin sudah trilyunan rupiah dana yang dikeluarkan, tapi Penataran P4 tidak jelas manfaatnya karena kesejahteraan rakyat tidak ada hubungannya dengan P4, dan bahkan penataran tersebut tidak ada kaitan dengan membaiknya moralitas pejabat, menurunnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Pada era reformasi, kehidupan politik kian pragmatis dan terus berlangsung tanpa Pancasila sebagai ideologi perjuangan.

Praksis tersebut tidak berlangsung dalam kevakuman. Ia berada dalam konteks struktural menyangkut proses akumulasi modal dan pembentukan-pembentukan sosial yang berlangsung secara nasional. Mengacu pada karya Foucault, Dicipline and Punish, proses akumulasi modal menghendaki tipe-tipe subjek tertentu, serta pranata-pranata sosial, politik, dan ekonomi tertentu.

Kebijakan pembangunan eksploitatif terus menjajakan kekayaan alam negeri ini dan menempatkan penduduk sebagai sumber tenaga kerja murah. Rakyat dipisahkan dari basis kehidupannya, adapun tanah air yang luas dan kaya lebih dinikmati segelintir kalangan dalam negeri dan pihak asing.

Hak-hak adat kurang dihargai. Penguasaan lahan petani makin sempit dan jumlah petani yang berubah menjadi buruh tani kian banyak karena tidak lagi memiliki lahan sendiri. Proletarisasi kaum tani membuat negeri ini menjadi pemasok buruh rendah dan pembantu rumah tangga.

Lebih satu juta keluarga nelayan masih menerima upah kurang dari dua dollar AS per hari dan semakin tergerus industri perikanan modern. Adapun pedagang kecil sering kesulitan memperoleh tempat usaha, kerap diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat tramtib, hingga menghadapi persaingan tidak seimbang dari jaringan pemasaran modern.

Secara nasional, setelah Bank Dunia mengumumkan garis kemiskinan sekarang adalah pendapatan sebesar dua dollar AS per orang per hari, Kantor Perwakilan Bank Dunia di Jakarta menyatakan 112 juta jiwa atau lebih 50% dari rakyat Indonesia miskin (berbeda dengan “klaim pencitraan” pemerintah bahwa jumlah rakyat miskin “hanya” 32 juta jiwa atau 14%).

Rakyat yang termarginal tidak pernah mengalami Pancasila karena kepentingan akumulasi modal yang timpang membuat Pancasila dipisahkan dengan identitas-identitas lokal dan kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Di tengah menyempitnya ruang penghubung, perajut dan pemakna kesadaran bersama, jiwa nasionalitas kehilangan daya dobraknya, sehingga menimbulkan solidaritas sosial yang sempit dan mempengaruhi relasi-relasi sosial antar agama, suku, dan etnis di masyarakat.

Ketidakmampuan memeriksa secara rasional relasi-relasi sosial merupakan cermin dari kenyataan bahwa di masyarakat yang memiliki banyak ketimpangan mengalami, meminjam istilah Jürgen Habermas (1979), systematically distorted communication, di mana komunikasi yang terjadi cenderung terdistorsi dan semu di masyarakat, sehingga orang-orang hanya mampu berkomunikasi dengan distorsi-distorsi tersebut.

Sejak dekade 1990-an, konflik antar suku dan agama terjadi di berbagai wilayah Indonesia, seperti Kalimantan, Maluku, dan Poso. Hingga kini, hubungan antar golongan kerap tidak berlangsung sinergis.

Soliditas

Restrukturisasi penguasaan sumber-sumber ekonomi yang adil merupakan isu penting untuk mengembalikan Pancasila sebagai ideologi perjuangan.

Basis agraris dan maritim seharusnya dikembalikan seluasnya kepada warga masyarakat. Landreform perlu digalakkan untuk merestrukturisasi penguasaan tanah yang mengutamakan kepentingan petani gurem dan buruh tani. Pembaruan kebijakan skema kredit, bantuan manajemen, dan jaringan pemasaran sepatutnya diprioritaskan untuk kepentingan kaum tani, nelayan dan usaha kecil sebagai mayoritas hidup rakyat. Adapun kesejahteraan dan peningkatan kemampuan buruh harus menjadi perhatian.

Namun, pertanyaan besar akan selalu menggayut, seberapa solid kemampuan bersama memperjuangkan cita-cita pendiri bangsa yang telah memerdekaan negeri ini?

Soekarno pernah berkata, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar