Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Aceh
- Sejarah Masuknya Islam di Aceh
Pembahasan sejarah dan pemikiran tasawuf di Aceh, terkait erat dengan sejarah dan masuknya Islam itu sendiri. Masuknya Islam di daerahini mempunyai kontribusi yang sangat besar bagi penyebaran Islam di Nusantara. hampir semua sejahrawan sepakat bahwa Islam pertama kali masuku ke Nusantara bermula di Aceh. Islam dating pertama kali di Indonesia melalui jalur perdagangan yang dilakukan oleh saudagar-saudagar imelaluibjalan laut Aden menyusuri pesisiran pantai India Barat dan Selatan, juga ada dari Khurasan kemudian Khutan, padang pasir Gobi, Sungthu, Nansyau, Kanton, kemudian menyebaerangi Laut China Selatan nasuk ke gugusan pulau-pulau Melayu melalui pesisir pantai Timur Semenangjung Melayu. Keadaan ini menyebabkan Para saudagar ini tinggal di Nusantara. Kesempatan ini digunakan untuk mendakwahkan Islam ditempat-tempat yang mereka singgahi. Diantara mereka banyak yang menikahi penduduk asli dan menghasilkan generasi baru di abad ke -7 M.
Ketika awal-awal kedatangannya itu, islam hanya sebgai kegiatan dakwah dan belum muncul sebagai kekuatan politik. Lama kelamaan baru muncul sebagai kekuatan politik, yakni dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di sekitar wilayah Aceh ini. Sebelum nama “Aceh” lahir sebagai sebuah kerajaan Islam, terdapat 6 daerah terpenting di ujung utara Sumatra diantara kerajaan Perlak, Samudra Pasai, Teumiang(Negeri Myanmar), Pidie, Indera Purba, Soudu. Dalam perkembangan selanjutnya, keenam daerah tersebut tersatukan menjadi daerah Aceholeh Sultan HuseinSyah yang memerintah Aceh Darussalam pada tahun 870-885 H/1465-1480. Di masa inilah baru terbentuk kesatuan Aceh, yaitu satu agama, satu bangsa, dan satu Negara, dan kesatuan inilah Aceh menjadi kuat dan megah hingga mencapai zaman kegemilangannya.
Atas kedatangan para ulama itu, pemikiran, penghayatn, pengalaman, dan pengamalan keagamaan begitu berkembang di kawasan kerajaan Islam Aceh. Diasamping itu, tasawuf dan tarekat juga berkembang peasat mewarnai kehidupan keagamaan di Aceh. Dari Aceh ini kemudian tasawuf dan tarekat tersebar luas ke seluruh Nusantara, bahkan sampai berpengaruh ke daerah Pattani dan wilayah-wilayah lain di Semenanjung Melayu.
B. Penyebaran Islam dalam Pendekatan Sufistik
Berkenaan pendekataan yang digunakan oleh para penyebar Islam di Nusantara, tampaknya ada beberapateori yang berkembang, antara lain: Pertama, ada yang menyebutkan bahwa sejarah masuknya Islam di Nusantara adalah dengan pendekatan perdagangan. Teori ini cukup beralasan, karena sejak lama bangsa Indonesia sudah menjalin hubungan perdagangan dengan bangsa-bangsa Arab, Gujarat, dan China. Kedua, ada yang menyebut dengant pendekatan perkawinan, yakni para pendatang dan pedagang-pedagang Muslim dari Timur Tengah dengan penduduk setempat. Dari perkawinanini melahirkan generasin Muslim baru di Nusantara. Ketiga, pendekatan politik yaitu upaya dakwah yang dilakukan para pedagang dan pendatang Muslim yang kemudian berhasil mengislamkan raja-raja dan pembesar istana yang sebelumnya menganut agama Hindu atau Budha. Keempat, pendekatan sufistik. Teori ini cukup berasalan, karena para penyiar Islam sesungguhnya adalah ulama –ulama yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sufistik. Mereka tampil sebagai ulama-ulama yang mempraktikkan tarekat tertentu. Ulama-ulama tsb tampil sebgai figure-figur sufi kharismatik, berwibawa, dan arif dan disertai sikap yang akomodatif terhadap budaya setempat.
Dalam teori A.H.Johns, mengakui bahwa Islam dating ke Indonesia melalui para sufi pengembaralah yang kelihatan leibh berhasil melakukan penyiaran Islam di kawasan ini. Para sufi ini berhasil mengIslamkan sejumlah besar penduduk Nusantara setidaknya sejak abad ke -13. factor utama keberhasilan konversi adalah kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam kemasan atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuian dengan Islam atau kontiunitas dari pada perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan local. Dengan menggunakan tasawuf sebgai sebuah kategori dalam literature dan sejarah Melayu-Indonesia, Johns memeriksa sejumlah sejarah local untuk memperkuat teorinya ysng mengatakan bahwa betapa signifiksn peran yang dimainkan para sufi dalam proses Islamisasi.
C. Sejarah Pemikiran Tasawuf di Aceh
Pemikiran tasawuf di Aceh banyak terkait dengan pemikiran-pemikiran tasawuf di wilayah-wilayah lain di Nusantara, baik dari aspek sejarah maupun substansi pemikirannya. Dari aspek sejarah banyak terbukti bahwa dari tokoh-tokoh sufi Aceh inilah kemudian tasawuf menyebar dan membentuk jaringan-jaringan ke seluruh Nusantara. Sedangkan secara substansial, pemahaman tasawuf di Aceh mempengaruhi daerah-daerah lain ada kecenderungan isi dan corak pemikiran tasawufnya mirip dengan tasawuf dii Aceh, kendati pun sebetulnya sedikit banyak telah mengalami pergesaran-pergeseran atau mengalami modifikasi.
Ketika Aceh sedang mengalami puncak kejayaannya ternyata secara substansial, mazhab tasawuf Ibnu Arabi dan al-Jilli yang berwatak pantheisme telah mendominasi pemikiran dan penghayatan keagamaan dalamistana dan kalangan masyarakat umum, terutama karena ajaran itu telah diantu dan disebarkan oleh 2 orang pemuka tasawuf Aceh terkenal yaitu Hamzah Fansuri dan muridnya Syamsuddin Sumatrani (w 1630). Melalui 2 orang sufi ini, ajaran tasawuf Ibnu Arabi yang kemudian di Aceh dikenal dengan wujudiyyah- memperoleh kemajuan sangat pesat dan dianut secara luas oleh masyarakat umum dan kalangan istana. Melalui kitab-kitab dan sejumlah muridnya, ajaran tasawuf Wujudiyyah menjadi ajaran formal dan mendapat dukungan luas masyarakat Aceh.
1. Hamzah Fansuri dan pemikiran Tasawufnya
Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus, sebuah kota yang seorang Arab zaman dahulu dinamai “Fansur”. Itukah sebabnya dibelakang namanya disebut “Fansuri”. Kota Barus atau Fansur, yang merupakan pusat pengetahuan Islam lama di Aceh Barat Daya. Kota Fansur itu, tepatnya terletak di pantai barat Provinsi Sumatra Utara, diantara Singkil dan Sibolga. Tidak diketahui dengan pasti tentang tahun kelahiran dan kematian Hamzah Fansuri, tetapi masa hidupnya diperkirakan sebelum tahun 1630an, karena Syamsuddin Pasai (Sumatrani) yang menjadi pengikutnya dan komentataor bukunya dalam tulisannya Syarh Rub,’ Hamzah Fansuri meninggal pada tahun 1630.
Hamzah Fansuri memiliki karya-karya yang cukup banyak dalam kesustraan Melayu –Indonesia tercatat buku-buku syairnya diantaranya Syair Burung Pingai, Syair Dagang, syair Punggug, syair Sidang Fakir, syair Ikan Tongkol, dan syair Perahu. Adapun karangan-karangan Syakh Hamzah Fansuri yang berbentuk karya ilmiah antaranya ialah Asrarul Arifin fi Bayaani ‘Ilmis suluki watTauhid, Syarbul ‘Asyikin, Al-Muhtadi, Ruba’i Hamzah al-Fansuri.
Selanjutnya, mengenai pemikiran-pemikiran Al-Fansuri tentang tasawuf kelihatannya banyak dipengaruhi faham wahadatul wujud-nya Ibn Arabi kecenderungannya pada sufi Andalus ini bisa dilihat ketika ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat dari pada urat-urat leher manusia sendiri, dan bahwa Tuhan tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa ia ada dimana-mana. Diantara ajaran tasawuf al –Fnasuri yang lain berkaitan dengan hakikat wujud dan penciptaan. Menurutnya, wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatan banyak. Semua benda yang ada sebenarnya merupakan manifestasi dari yang haqiqi yang disebut al-Haqq Ta’ala.
Orang banyak menolak pemikiran Hmazah Fansuri karena faham wihdatul wujud, hulul, dan ittihad-Nya. Karena banyak orang yang mengklaim sebagai seorang zindiq, sesat, kafir dan sebagainya. Ada juga yang mengakui bahwa ia bermazhab Syafi’i. Dalam bidang gtasawuf ia mengikuti tarekat Qadiriyah yang dipelopori oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani.
2. Syamsuddin Sumatrani dan pemikiran Tasawufnya
Syamsuddin al-Sumatrani ini merupakan tokoh sufi kenamaan di Aceh. Beliau adalah murid Hamzah Fansuri, yang mengajarkan faham wujudiyyah. Ia hidup pada masa kejayaan kesultanan Aceh(1607-1636). Dalam pemikiran tasawufnya, Syamsuddin Sumatrani membahas tentang Martabat Tujuh dan sifat dua puluh Tuhan.
Konsep Martabat Tujuh mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam semesta, termasuk manusia, adalah aspek lahir dari hakikat yang Tunggal, yaitu Tuhan. Tuhan sebagai yang mutlak tidak dapat dikenal baik oleh akal, indera maupun khayal. Dia baru dapat dikenal sesudah ber-tajalli sebanyak tujuh martabat, sehingga tercipta alam semsta beserta isinya, termasuk manusia, sebagai aspek lahir dari Tuhan. Menurut Abdul Rahim Yunus, cara penggambaran ini menunjukkan bahwa Tuhan adalah satu-satunya wujud yang tidak berbentuk, tidak terbatas, dan tidak terhingga. Disisi lain metode ini juga untuk menunjukkan keterbatasan serta keragaman wujud yang tampak.
Diantara ajarannya adalah bahwa Tuhan saja yang wujud. Hal ini didasarkan pada ayat Al-qur’an:
Dia-lah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zhahir (tampak), dan Yang Batin (tersembunyi). Surat Al-Hadid:3
Konsep Martabat Tujuh cenderung berhubungan dengan teori Tanazzul dalam tasawuf. Tanazzul (tanzil) diartikan sebagai turunnya Wujud dengan penyingkapan Tuhan, darii kegaiban ke alam penampakan melalui berbagai tingkat perwujudan. Teori ini menggambarkan bahwa manusia sebagai makhluk sempurna merupakan pancaran dari Wujud Sejati, yang menurunkan Wujud-WujudNya dari alam rohani ke alam materi dalam bentuk manifestasi wujud secara hierarki wujud atau gradasi wujud. Proese penurunan wujud ini dalam referensi sufi dinamakan dengan tanazzul, yang dikenal melalui bentuk penyingkapan diri (tajalli).
3. Nuruddin al-Raniri
Namanya adalah Nur al-Din Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasanji ibn Muhammad al-Raniri. Silsilah keturunan al-Raniri ini berasal dari India, keturunan Arab. Dipanggil al-Raniri karena beliau dilahirkan di daerah Ranir (Rander) yang terletak dekat Gujarat (India) pada tahun yang belum diketahui. Dan meninggal dunia pada 22 Dzulhijjah 1096 H/21 September 1658 M di India.
Nuruddin al-Raniri banyak menghasilkan tulisan. Di antara buku yang ditulisnya itu, ada tulisan yang khusus untuk mengecam atau mengkafirkan penganut ajaran Syamsudin dan Hamzah Fansuri. Ini karena kedua orang tersebut dikategorikan sebagai penganut paham Wahdat al-wujud. Pada masa itu sedang panasnya polemik di masyarakat mengenai ajaran kedua sufi ini, bahkan ada yang menganggap keduanya sesat. Ini ditolak dengan tegas oleh Nuruddin al-Raniri.
Pemikiran Nuruddin al-Raniri dapat dikategorikan menjadi lima bagian, yaitu:
Pertama, tentang tuhan. Pendiriannya dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham mutakallimin dengan paham para sufi yang diwakili Ibn ‘Arabi. Ia berpendapat bahwa ungkapan “wujud Allah dan Alam Esa” berarti alam ini merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang batin yaitu Allah, sebagaimana yang dimaksud Ibn ‘Arabi. Namun, ungkapan itu pada hakikatnya adalah bahwa alam ini tidak ada. Yang ada hanyalah wujud Allah Yang Esa. Jadi, tidak dapat dikatakan bahwa alam ini berbeda atau bersatu dengan Allah.
Kedua, tentang alam. Pandangannya bahwa alam ini diciptakan Allah melalu tajalli. Ia menolak teori al-faidh (emanasi) al-Farabi karena akan membawa kepada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh kepada kemusyrikan. Alam dan falak, menurutnya, meripakan wadah tajalli asma dan sifat Allah dalam bentuk yang kongkret. Sifat ilmu bertajalli pada alam akal, nama rahman bertajalli pada arsy; nama Rahim bertajalli pada kursy; nama Raziq bertajalli pada falak ketujuh; dan seterusnya.
Ketiga, tentang manusia, merupakan makhluk Allah yang paling sempurna di dunia ini. Sebab, manusia merupakan khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya. Juga, karena ia merupakan mazhhar (tempat kenyataan asma dan sifat Allah paling lengkap dan menyeluruh). Konsep insan kamil, katanya, pada dasarnya hampir sama dengan apa yang telah digariskan Ibn ‘Arabi.
Keempat, tentang Wujudiyyah, menurutnya inti ajaran Wujudiyyah berpusat pada wahdah al wujud, yang disalahartikan kaum wujudiyyah dengan arti kemanunggalan Allah dengan alam. Menurutnya, pendapat Hamzah al-Fansuri tentang wahdat al-wujud dapat membawa kepada kekafiran. Bagi al-Raniri bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, maka jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk atau baik, Allah turut serta melakukannya. Jika demikian, maka manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan.
Kelima, tentang hubungan syariat dan hakikat. Pemiisahan antara syariat dan hakikat, menurut al-Raniri, merupakan sesuatu yang tidak benar. Kelihatannya, al-Raniri, sangat menekankan syariat sebagai landasan esensial dalam tasawauf (hakikat).
4. Abd. Rauf as-Singkli
Abd. Rauf as Singkel seorag tokoh ulama dan mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke 17 ini, nama lengkapnya adalah Abdur Rauf ibn Ali al-jawi al-Fansuri al-Singkli. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan pasti, tetapi ada yang menyebut tahun kelahirannya sekitar 1024 H/1615 M.
As-Singkli sempat menerima baiat tarekat syatariyah. Ulama Aceh ini berupaya mendamiakan ajaran martabat alam tujjuh yang dikenal di Aceh sebagai wahdatul wujud (pantheisme) dengan paham sunnah. Meskupin begitu syekh Abd. Rauf tetap menolak paham wujudiyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba.
Pemikiran tasawuf as-Singkli daat dilihat, antara lain pada persoalan kecenderunagntuk merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat, kendati demikian ajaran tasawufnya mirip dengan Syamsudin dan Nuruddin ar-Raniri yaitu penganut paham satu-satunya wujud hakiki, yaitu Allah. Sedangkan alam ciptaanNya bukanlah merupakan wujud hakiki, tetapi bayangan dari wujud yang hakiki. Menurutnya jelaslah Allah berbeda dengan alam. Walaupun demikian antara bayangan alam dengan yang memancarkan bayangan (Allah) tentu memperoleh keserupaan. Maka sifat-sifat manusia adalah bayangan-bayanagn Allah, seperti yang hidup yang tau dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan-perbuatan adalah perbuatan Allah.
As-Singkli juga memmpunyai pemikiran tentang dzikir. Dzikir dalam pandangan as-Singkli merupakan suatu usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengan dzikir inilah hati selalu mengingat Allah. Tujuan dzikir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar